Kisah Hidup Bupati Pemalang H. Junaedi, SH, MM


SIAPA menyangka, seorang tokoh seperti H. Junaedi, SH,MM yang kini memimpin Kabupaten Pemalang itu perjalanan hidupnya sangat berliku. Bahkan dalam sebuah perbincangan agak panjang di suatu siang, Pak Junaedi, demikian ia akrab disapa dengan tanpa segan-segan menceritakan masa kecilnya yang sederhana dan jauh dari kecukupan.
“Itulah tempaan hidup. Karena pengalaman masa lalu yang tidak mudah itu di masa depan justru semakin menguatkan keberanian saya,” tutur anak seorang Pamong Desa dan Petani yang sederhana di Desa Watukumpul. Ia pun menceritakan bagaimana susahnya menempuh bangku SMP yang harus berjalan kaki sepanjang empat kilometer dari rumah ke sekolahnya. Bahkan agar sepatunya tidak rusak dalam perjalanan, kerap Ia mengalungkan sepatunya ke pundak.
H. Junaedi, SH, MM yang kini sangat dikenal karena jabatannya sebagai Kepala Daerah di Kabupaten Pemalang ini menceritakan semua kisahnya tidak dengan mimik bersedih. Bahkan di sela-sela pembicaraannya, tidak jarang diselingi gelak tawa karena ada hal-hal yang terasa lucu saat diingat sekarang.
Kini setelah Junaedi berhasil menjadi pemimpin, maka hal yang paling tidak Ia lupa adalah masa-masa sulitnya di masa lalu. Bahkan sebelum melanjutkan kisah pilunya di masa remaja hingga menempuh karier kepegawaiannya, Pak Bupati menyelipkan filosofi bagaimana caranya menjadi pemimpin yang disayangi rakyat.
“Pemimpin yang Baik Harus Bisa Ngayomi dan Ngayemi. Seorang pemimpin akan disebut berhasil oleh masyarakat kalau ia bisa ngayomi dan ngayemi. Ngayomi itu artinya bisa nyengkuyung semua kepentingan masyarakat. Bagaimana masyarakat merasa disejahterakan, tidak malah sebaliknya merasa dibuat menderita. Ngayemi kepentingan masyarakat itu mengakomodir keinginan mereka serta sebisa mungkin menenteramkan.  Demikianlah ia memuai memperkenalkan dirinya sebagai pemimpin dengan cara justru mengabdi, bukan malah menindas.
“Kuncinya sebenarnya cukup satu, jika masyarajat tercukupi sandang, pangan dan papannya, maka pemimpin akan didekati oleh rakyatnya. Seperti juga pemimpin di daerah lain, sebagai orang nomor satu di Pemalang, Junaedi juga menghadapi masalah kemiskinan di daerahnya. Berdasarkan data statistik, angka kemiskinan di Pemalang 18 persen. Namun realitas di lapangan alhamdulilah tak ada masyarakat di daerahnya yang kelaparan, kurang papan dan pangan.

Melawan Kemiskinan
Istilah diatas memang sekilas seperti komoditas yang sering dijual seorang tokoh yang kini telah berhasil. Namun tidak bagi H. Junaedi, SH, MM. Ia benar-benar menikmati masa sulit itu dari sana ia mengelola kesulitan tersebut untuk kemudian mencipta jalan agar supaya pertarungan hidup itu membawa hasil yang lebih baik.
Selepas lulus SMP di Desanya, Junaedi melanjutkan pendidikan Sekolah Menengah Atas di Purbalingga. Tak terbayangkan menjadi siswa SMA di kota besar seperti Purbalingga, pasti akan menghadapi tantangan yang luar biasa. Benar juga kesusahan Ia alami saat mendaftar SMA dengan menumpang di tempat suadara. “Semula saya tidak pernah membayangkan jika menumpang hidup di rumah saudara tidak seperti di rumah sendiri. Pasti ada rasa tidak enaknya karena pola kehidupan dan kebiasaan yang berbeda,” tuturnya.
Ironisnya, ia menjalani Sekolah Menengah Atas di Purbalingga ternyata tidak berlangsung lama. Baru enam  bulan berjalan, Junaedi terpaksa “hengkang” dengan alasan, ia tidak mampu lagi membayar uang sekolah di masa berikutnya.
Namun, lagi-lagi Ia tak ingin menyerah terhadap keadaan. Apa boleh buat dalam kondisi drop out sekolah, Junaedi muda meninggalkan Kota Purbalingga dan merantau ke Bogor. “Saya masih ingat, itu sekitar tahun 1980. Saya tidak paham betul hendak berbuat apa di Bogor. Tapi nyatanya kehidupan terus berjalan. Saya bekerja serabutan, bahkan akhirnya sampai ke Jakarta menjadi kuli di proyek pembangunan Pabrik Semen Cibinong. Kerja apa saja saya lakonin. Bekerja di pabrik tekstil, jaga malam dan menjadi tukang potong rambut, semua saya jalani.”
Dari situasi yang seperti itu, ia bahkan sudah melupakan cita-citanya yang ingin menjadi pegawai negeri. Kebetulan di kalangan keluarganya profesi sebagai guru banyak yang melakoni. Ia membayangkan, mengajar sebagai guru negeri, kesejahteraannya akan terjamin di masa tua. Tapi, lagi-lagi angan-angan indah itu segera ditepiskan. Ia harus menghadapi pertarungan hidup yang tidak mudah.
Meski kerasnya hidup sanggup dihadapi, namun ada masa jenuhnya pula. Manusia terkadang mengalami masa letihnya juga, “Maka pada tahun 1986 saya pulang kampung. Kebetulan  Pak Samhuri, Sekda punya lahan besar di desa, pada perkembangan berikutnya saya diminta bekerja di Semarang. Alangkah senangnya saya, tugas pagi menyuci mobil, kemudian antar-jemput dan bersih-bersih. Sore harinya saya diperbolehkan sekolah di SMA IPU, karena ujiannya di SMA Negeri 3, maka Ijazah saya lulusan SMAN 3 Semarang,” imbuhnya.
Dan itulah awal karier Junaedi sebagai pegawai negeri honorer berkat jasa Pak Samhuri. Begitu lulus sekolah akhirnya jadi pegawai negeri penuh. Dalam posisi tersebut, hasratnya untuk menempuh pendidikan yang lebih tinggi semakin menjadi. Maka sore harinya ia melnjutkan kuliah di Untag Sore di Semarang. Ia masih ingat beberapa dosennya di kampus beralamat di Jl. Pemuda Semarang tersebut, antara lain Pak Wijaya dan Pak Riyanto.
“Saya tidak mau tanggung-tanggung, saya melanjutkan kuliah S2 di Stikubank. Saya melihat ada peluang yang kian besar di masa datang,” katanya penuh semangat.

Belajar Berpolitik
Inilah masa-masa dimana ia mulai menyentuh dunia politik. Sosok yang paling diingatnya pertama kali dalam memberikan pelajaran soal politik adalah H. Thoyfoer. Ia pun mulai diberi petunjuk bagaimana langkah-langkah berikutnya dalam berpolitik. Ibarat bermain catur, Junaedi diberi jurus-jurus jitu oleh para senior yang terlebih dahulu melanglang dunia di jagad tersebut.
Pada tahun 2005 dimulailah  Pilkada langsung di Pemalang. Setahun sebelumnya, tepatnya Tahun 2004 Ia naik Haji bersama sang Istri. Untuk berhaji berdua, Ia terpaksa menjual motor agar bisa barhaji bersama, dengan itu ia berombongan Haji dengan tokoh-tokoh dari Kabupaten Pemalang.
 “Lha para Kyai Pemalang merekomendasikan saya maju di Pilkada Pemalang ke Pak H. Thoyfoer. Dipasangkan dengan KH. Mahroes. Saya dijemput oleh tujuh Kyai. Saya juga diminta H. Thoyfoer agar pulang ke Pemalang. Saya diberi waktu seminggu. ada kyai yang datang lagi, saya ditunggu untuk memberi jawaban, dan saya sampaikan siap.” Namun tidak semulus itu, ada juga pihak yang menolak, tapi rupanya Kyai mendukung dirinya dan Tuhan Meridhoi. Tak ada yang bisa menghalangi. Saya jadi Wabub, terpilih. Kemudian menjadi Bupati hingga sekarang.
Sebuah perjalanan yang luar biasa panjang dan berliku. Namun, sangat inspiratif dan menarik untuk dijadikan pelajaran. (st,tm)

Sumber : Majalah Pemalang Hits diterbitkan oleh Dinas Kominfo Kabupaten Pemalang.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

AKBP URI NURTANTI ISTIWIDIYATI, SIK, M.Si KAPOLRES PATI

Dodi Dharma Cahyadi

PENEMUAN SITUS SEJARAH DI DESA PILANGREJO